PERANCANGAN KOTA UNTUK PELESTARIAN CAGAR BUDAYA (KAWASAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA DI KECAMATAN KLOJEN)
Oleh:
Ahlam Aliatul Rahma, Ephafras Juni Andana, Fatma Roisatin Nadhiroh, Moh Taufiq
Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
Perancangan Kota untuk Pelestarian Cagar Budaya
1.
Penampilan Visual
Kawasan Cagar Budaya di
Kecamatan Klojen didominasi oleh bangunan bersejarah peninggalan masa kolonial Belanda
dan jalan yang lebar atau jalan besar. Selain itu, adanya pedistrian dan
vegetasi yang disesuaikan dengan rancangan kawasan sebagai Garden City.
Secara garis besar kawasan bangunan cagar budaya yang ada di Kecamatan Klojen
memiliki karakteristik visual yang berbeda. Seperti Kawasan Ijen yang memiliki
ciri khas Pohon Palem Raja di sepanjang Jalan Besar Ijen serta rumah-rumah khas
Belanda. Hal tersebut menunjukkan fungsi kawasan pada masa kolonial sebagai
permukiman dan adanya Gereja Katedral Bunda Karmel sebagai tempat ibadah. Tidak
jauh berbeda dengan fungsi saat ini sebagai perumahan.
Karakteristik yang berbeda
di Kawasan Tugu ditandai dengan adanya Pohon Trembesi dan berbagai tanaman hias
lain untuk memperindah kawasan tersebut serta memberikan kenyamanan bagi
masyarakatnya. Kawasan ini memiliki ciri khas adanya ruang terbuka publik yang berupa
taman berbentuk lingkaran dan tugu di tengahnya. Sedangkan bangunan di
sekitarnya berupa balaikota, sekolah dan kawasan militer yang menunjukkan bahwa
kawasan ini sebagai pusat pemerintahan. Tidak jauh dari kawasan tersebut
terdapat sarana pendukung transportasi berupa Stasiun Kereta Api Kota Malang. Budiyono
et al (2012) Desain bangunan Stasiun Kota Baru bergaya arsitektural
kolonial awal modern dengan denah-denah bangunan didominasi dengan pola
simetri, bidang datar, warna putih, sedikit ornamen dan memperhatikan iklim
tropis. Fungsi kawasan juga masih sama seperti dahulu sebagai pusat
pemerintahan.
Kawasan Alun-alun Merdeka
dan Jalan Basuki Rahmad. Sepanjang kawasan Basuki Rahmad merupakan pertokoan
dan pelayanan umum seperti PLN dan bank. Pada saat ini fungsi kawasan tersebut
masih sama, sedangkan kondisi bangunannya sudah banyak yang berubah. Sebab hak
milik setiap bangunan tersebut pada umumnya adalah milik perorangan, sehingga
adanya perubahan arsitektur bangunan tergantung pada kehendak pemiliknya.
Sedangkan Kawasan Alun-alun Merdeka yang masih terhubung dengan Jalan Basuki
Rahmad memiliki fungsi yang sama dengan adanya Alun-alun Merdeka sebagai ruang
terbuka publik. Alun-alun merupakan ciri khas masyarakat Jawa sebagai ruang
terbuka publik.
Bangunan bersejarah yang
berada di Kawasan Cagar Budaya ini bukan hanya berarsitektur Belanda deberapa
di antaranya memiliki arsitektur bergaya China maupun bergaya Arab. Bangunan
berarsitektur Arab dan China dapat dijumpai di sekitar Pasar Besar yang merupakan
Permukiman Arab dan China. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya berbagai
budaya yang mempegaruhi arsitektur bangunannya. Kondisi bangunan cagar budaya
pada umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak berubah dari sebelumnya, namun
fungsinya sudah mengalami perubahan.
1.
Karakter Spasial
Kawasan Cagar Budaya yang ada di Kota Malang hanya mengelompok
di Central Bussiness District (CBD) Kota Malang dan lokasinya berdekatan
dengan pusat pemerintahan, sehingga dapat dengan mudah diakses dari berbagai
arah. Seperti halnya Kawasan Alun-alun Merdeka yang terdapat masjid, gereja dan
pasar. Sedangkan Kawasan Ijen didominasi oleh permukiman. Kawasan Tugu
merupakan pusat pemerintahan, adanya balaikota, sekolah, stasiun dan markas
militer menjadi sarana pendukung untuk pemerintahan. Menurut Budiyono et al
(2012), Kawasan Tugu memperlihatkan identitas Kota Malang yang didukung
oleh keberadaan bangunan peninggalan kolonial Belanda seperti gedung Stasiun
Kereta Api Kota Baru. Ketiga kawasan tersebut saling bedekatan dan memiliki
fungsi strategis pada masing-masing kawasan. Kawasan Tugu sebagai pusat
pemerintahan, Kawasan Ijen sebagai kawasan permukiman, Kawasan Jalan Basuki
Rahmad hingga Kawasan Alun-alun Merdeka sebagai pusat kegiatan perekonomian.
Lokasi kawasan yang saling berdekatan dapat mendukung kegiatan pada setiap
kawasan, sehingga berpengaruh pada perkembangan kawasan.
2.
Dukungan Teori
3.1
Kawasan
Kawasan, yakni suatu
wilayah yang secara teritorial didasarkan pada pengertian, batasan, dan
perwatakan fungsional tertentu. UU No. 26/2007 mendefinisikannya sebagai wilayah
yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya dengan batas
dan sistemnya ditentuka berdasarkan aspek fungsional serta memiliki ciri
tertentu/spesifik (Pontoh dan
Iwan, 2008).
Kawasan dirasa perlu
menjadi bagian dari sesuatu yang dapat dipandang sebagai cagar budaya sejalan
denngan pandangan bahwa objek arkeoogis berupa benda atau bangunan sering
ditemukan dalam kumpulan yang terkait dengan satuan ruang yang cukup luas (Sektiadi, 2015). Aspek
tata ruang, hubungan dengan lingkungan, dan intnsitas persinggungan dengan
masyarakat membuat pelestarian tidak saja terfokus kepada tinggalan-tinggalan
budaya yang ada, namun lebih kompleks karena juga harus memikirkan lingkungan fisik
dan sosial (Sektiadi, 2015).
3.2
Cagar Budaya
Menurut Direktorat
Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (2013), cagar
budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya,
bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan
cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Adanya bangunan bersejarah tidak lepas dari pengaruh
masa penjajahan yang berlangsung selama ratusan tahun di Indonesia termasuk
kota Malang. Menurut Artin (2011) dalam Hayati (2014) kriteria yang dapat
dijadikan sebagi benda Cagar Budaya adalah berusia 50 tahun atau lebih,
memiliki masa gaya paling singkat 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
Wikantyoso (2005) menyatakan bahwa kota-kota kolonial
Belanda dapat tumbuh dan berkembang tidak lepas dari perubahan kebijakan pemerintah
kolonial Belanda dari sentralistik dijadikan desentralistik. Pada tahun 1903
pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang Desentralisasi yang
disusul dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1905, dengan surat keputusan
pelaksanaan desentralisasi. Per-ubahan menjadikan gemeente-gemeente di
ber-bagai wilayah kota terjadi pada saat itu, seperti Batavia (1905), Bandung
(1906), Cirebon (1906), Pekalongan (1906), Tegal (1906), Se-marang (1906),
Magelang (1906), Kediri (1906), Blitar (1906), dan kota Malang (1914).
Pedoman dari Kementerian Kebudayaan Kanada bahwa
karakteristik heritage district adalah sebagai berikut (Ministry of
Culture, Canada 2006, 9–10; Sektiadi 2015).
1.
Satu konsentrasi bangunan,
situs, struktur warisan budaya, bentang lahan buatan, bentang lahan alami yang
terhubung dengan konteks atau pemakaian estetika, kesejarahan, atau
sosial-budaya.
2.
Satu kerangka dari
unsur-unsur restruktur termasuk fitur-fitur alam umum seperti topografi, bentuk
lahan, bentang lahan, aliran air, dan bangunan seperti pola jalan dan jalan
setapak, penanda lahan, noda atau persimpangan, hampiran, dan batas.
3.
Satu perasaan dari
koherensi visual melalui penggunaan unsur-unsur bangunan seperti skala, massa,
tinggi, bahan, proporsi, warna, yang mengakibatkan perasaan akan waktu atau
tempat tertentu.
4.
Kekhasan yang membuat
wilayah dapat dikenali dan dibedakan dari lingkungannya atau wilayah
sekitarnya.
3.3
Pelestarian Kawasan Cagar
Budaya
Kawasan cagar budaya adalah satuan
ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Perancangan cagar
budaya tentu membutuhkan suatu program pelestarian cagar budaya yang sistematis
dan terpadu. Pelestarian tersebut merupakan suatu usaha dinamis untuk
mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkan. Usaha dinamis yan sistematis dan terpadu
tersebut juga harus dibarengi legitimasi cagar budaya secara hukum melalui
register nasional cagar budaya.
Berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur 2010-2029 dalam rencana pola ruang wilayah,
kawasan cagar budaya yang diperuntukan sebagai cagar budaya bersejarah harus
dilestarikan dengan arahan pengelolaannya sebagai pengembangan pencarian situs
bersejarah, peningkatan pelestarian yang merupakan peninggalan sejarah serta
pengembangan kawasan sebagai obyek daya tarik wisata sejarah.
Kegiatan pelestarian
bangunan dan kawasan cagar budaya bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah
setempat melainkan memerlukan partisipasi masyarakat kota yang bersinggungan
secara langsung dengan obyek bangunan dan kawasan cagar budaya. Hal tersebut
secara eksplisit tertuang dalam pasal 56 Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya. Masyarakat secara perseorangan atau organisasi dapat melakukan
kegiatan perlindungan dan pemeliharaan bangunan cagar budaya sesuai dengan
kemampuan masing-masing.
Citra, identitas, dan branding
ruang pada dasarnya dapat menjadi nilai positif yang potensial bagi arah
pembangunan suatu daerah yang mengedepankan nilai-nilai budaya (Hadiyanta,
2015). Pelestarian ruang dengan status “Kawasan Cagar Budaya” di beberapa
bagian kota dan wilayah tertentu, pada dasarnya merupakan bagian upaya menjaga
eksistensi autentisitas ruang (Hadiyanta, 2015).
Berdasarkan Peraturan Daerah
Kota Malang Nomor 4 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
tahun 2010 – 2020 Pasal 44 Kawasan Cagar Budaya:
1)
Kawasan cagar budaya meliputi lingkungan cagar budaya dan
bangunan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah dan penanda atau jati diri
pembentukan kota.
2)
Lingkungan cagar budaya meliputi lingkungan candi badut,
lingkungan candi tidar, lingkungan gunung buring, situs tlogomas, dan
lingkungan polowijen.
3)
Bangunan cagar budaya meliputi bangunan-bangunan yang
memiliki nilai sejarah dan penanda kota, yaitu: Balai Kota Malang, Stasiun
Kereta Api, Bank Indonesia, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, Gereja
Kathedral Hati Kudus, Sekolah Cor-Jessu, Gedung PLN, serta perumahan yang ada
di sepanjang Jalan Besar Ijen, Toko Oen dan Masjid Agung Jami’.
Pelestarian cagar budaya merupakan salah satu jenis
pendekatan dalam perencanaan kota atau penataan ruang yang bertujuan untuk
mempertahankan, melindungi, memelihara serta memanfaatkan bangunan cagar budaya
demi kepentingan pembangunan. Upaya pelestarian cagar budaya di Indonesia
menjadi isu penting dan berkembang sekitar tahun 1990 dalam penataan ruang di
Indonesia yang sebagian besar wewenang pengembangan dan pelestarian situs-situs
atau peninggalan sejarah berada di bawah koordinasi Kemendikbud.
Sebagaimana diatur dalam
UURI No. 11/2010 tentang Cagar Budaya, bahwa (Hadiyanta, 2015): Revitalisasi
adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali
nilai-nilai penting cagar budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang
tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Adaptasi
adalah upaya pengembangan cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan
kebutuhan masa kini dengan kawasan cagar budaya dapat tetap lestari, visibel,
dan dinamis. Koherensi dengan ha itu maka lembaga atau organisasi pengelola
kawasan cagar budaya sangat mensdesak diperlukan agar tata kelola kawasan dapat
dilakukan secara komperhensif.
Menurut Prof. Mundarjito (Abieta
dkk. 2011), jenis-jenis pelestarian bangunan cagar budaya antara lain
perlindungan, pemeliharaan dan dokumentasi. Perlindungan berupa penyelamatan
secara fisik, pengamanan secara hukum dan perizinan untuk pemanfaatan.
Pemeliharaan berupa perawatan dan pemugaran. Dokumentasi berupa pendaftaran dan
publikasi. Hal ini juga sejalan dengan strategi umum yang
dikeluarkan oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
Diantaranya adalah Membuat aturan perundangan mengenai cagar budaya dan museum
yang lengkap dan dapat menjamin kelestariannya, membangun data cagar budaya dan
museum yang akurat, sumberdaya manusia pelestari cagar budaya dan museum yang
kompeten, sistem dan manajemen pelestarian cagar budaya dan pengelolaan museum
yang efektif, keterlibatan pemerintah dengan masyarakat dalam pelestarian cagar
budaya, dan peningkatan anggaran.
Daftar Rujukan
Budiyono, Debora, et al.2012.
Lanskap Kota Malang sebagai Obyek Wisata Sejarah Kolonial. Jurnal
Lanskap Indonesia, Vol. 4 No.1, Hal : 43 – 50.
Peraturan Daerah Kota
Malang Nomor 4 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang tahun
2010 – 2020.
Siswanto,
Arif.2015.Analisis Visual Identitas Kota Malang melalui Foto-foto pada
Festival Malang Tempoe Doeloe 2014 : Satoes Akoe 100 Lakoe. Commonline
Departemen Komunikasi Vol.4 No.1: 27 – 36.
Lilik, K., Suorihardjo, R.
D. 2014. Arahan Pengembangan Kawasan
Cagar Budaya Singosari Malang sebagai Heritage Tourism. Jurnal Teknik
Pomits, Vol. 3, No. 2 (2014)
Mulyadi, Sukowiyono. 2014.
Kajian Bangunan Bersejarah di Kota Malang
sebagai Pusaka Kota (Urban Heitage) Pendekatan Persepsi Masyarakat.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014.
Kuncoro, T. S., Zulkaidi,
D. Partisipasi Masyarakat dalam
Pelestarian Bangunan Cagar Budaya di Kota Surakarta. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota B SAPPK Vol. 4, No. 1.
Direktorat Pelestarian
Cagar Budaya dan Permuseuman. 2013. Kebijakan
Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di Indonesia. Kementrian
Pendidikan dan Budaya.
Hadiyanta, Ign. Eka. 2015.
Kawasan Cagar Budaya di Yogyakarta: Citra, Identitas, dan Branding Ruang.
Jurnal Widya Prabha Vol. IV, No. 4, hal: 3 – 23. ISSN 2302 – 8998.
Sektiadi.2015.Pendekatan
Kawasan dalam Pengelolaan Cagar Budaya, Kasus Njeron Beteng, Yogyakarta.
Jurnal Widya Prabha Vol. IV, No. 4, hal: 24 – 36.
Komentar
Posting Komentar