FENOMENA MERANTAUNYA PEREMPUAN SUKU MINANG AKIBAT KETERBATASAN EKONOMI
FENOMENA MERANTAUNYA PEREMPUAN SUKU MINANG AKIBAT KETERBATASAN
EKONOMI
Epafras Juni Andana, Fatma Roisatin N., Kusriadi,
M. Arif Oktifani, Satrio Adi N.
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang
ABSTRAK: Salah satu kebudayaan suku Minangkabau adalah budaya
merantau. Persebaran rantau suku Minang tidak hanya di Indonesia tapi sampai
Malaysia dan Singapura. Aktivitas tersebut biasanya dilakukan oleh kaum
laki-laki, namun adanya tekanan ekonomi membuat kaum perempuan Minang pun
merantau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Merantaunya perempuan suku
Minang mempengaruhi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Minang. Adanya
globalisasi dan modernisasi turut mempengaruhi matapencaharian dan kondisi
sosial budaya perempuan rantau suku Minang di daerah rantau.
Kata
Kunci: Perempuan rantau, ekonomi lemah, suku Minangkabau
Pendahuluan
Suku
bangsa Minangkabau merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki
keunikan tersendiri. Beberapa keunikannya antara lain mereka menganut sistem
kekerabatan matrilineal dan tradisi merantau. Pada awalnya suku Minang mendiami
Sumatera Barat dan Pulau Sumatera bagian tengah, namun saat ini keberadaan
masyarakat Minangkabau sudah tersebar di berbagai tempat seperti kota-kota
besar di Pulau Jawa, Kalimantan bahkan Malaysia dan Singapura. Hal ini dipengaruhi
oleh budaya merantau suku Minangkabau.
Merantau
dalam dalam pengertian di
sini adalah meninggalkan kampung halaman mereka dan menetap di tempat lain yang
dianggap dapat memberikan kehidupan yang layak (Amir B, 1982: 219 dalam Dewi
dan Ermansyah, 2007: 96). Bagi masyarakat Minang, seseorang belum dianggap
dewasa dan berguna bagi kampungnya apabila belum merantau. Pada awalnya
merantau didorong oleh kebutuhan untuk perluasan tanah garapan baru untuk
pertanian, sebab di daerah asalnya tidak lagi memadai untuk menunjang kehidupan.
Merantau
sejak jaman dulu hanya dimonopoli oleh kaum laki-laki Minangkabau. Walaupun ada
kaum perempuan Minang yang hidup di daerah rantau, tapi hanya untuk mengikuti
suaminya. Suami yag telah berada di daerah rantau dan dianggap telah berhasil
biasanya membawa istrinya hidup di rantau. Bagi
laki-laki Minang merantau adalah tuntutan budaya. Sedangkan bagi kaum
perempuan, merantau merupakan bagian dari dinamika kehidupan keluarga.
Keberanian
perempuan merantau untuk bekerja tidak hanya atas dasar kepentingan ekonomi
semata, tapi juga menyangkut keberanian dalam melanggar aturan dan norma-norma
yang berlaku di masyarakat Minang. Oleh karena itu ketika perempuan merantau,
persoalan yang muncul akan lebih kompleks bila dibandingkan dengan laki-laki
yang pergi merantau. Fenomena di mana wanita Minangkabau merantau bukanlah
suatu hal yang aneh lagi. Artinya merantau tidak lagi terbatas pada laki-laki
dan wanita yang turut dengan suaminya, tetapi juga dilakukan oleh wanita yang
masih single.
Pembahasan
Tujuan
tempat rantau suku Minang tidak hanya di kota-kota besar di Pulau Sumatera dan
Pulau Jawa yang menjadi pusat kegiatan ekonomi Indonesia, tapi juga sampai Negeri
Sembilan, Malaysia dan Singapura. Perluasan rantai sampai menyebrangi Selat
Malaka sudah terjadi sejak jaman ramainya perdagangan Malaka pada abad ke-15
dan ke-16. Selain itu, dapat ditemui rantau elite di Banjarmasin, Kalimantan
Selatan, dan di Mataram, Lombok, walaupun jumlah perantau elit di kedua tempat
tersebut relatif kecil.
Gambar 1. Persebaran rantau suku Minang (Naim, 1984:
65)
Salah
satu ciri merantau orang Minangkabau ialah walaupun mereka ada yang berasal
dari keluarga petani di desa-desa di Sumatera Barat namun kenyataannya di
rantau yang baru tidak satupun di antara mereka yang memegang pekerjaan yang
sama dengan yang sebelumnya di kampung mereka. Pengecualian mungkin terdapat pada
migrasi yang ke Semenanjung Malaysia di mana sebagian kecil tertentu memang
terlibat dalam kegiatan pertanian dengan memilih untuk hidup di daerah
pedalaman daripada di kota-kota.
Perempuan
di Minangkabau lazim dinyatakan dengan “Bundo Kanduang” medapat tempat yang
unik dalam kaca mata budayanya. Budaya Minangkabau yang menganut sistem
keturunan matrilineal menempatkan perempuan pada posisi yang penting dalam
proses perujukan garis keturunan. Di samping ini perempuan dalam kaca mata
budaya Minang adalah pemegang kunci kendali hasil ekonomi sawah dan ladang.
Padanya terletak keputusan penggunaan hasil sawah ladang yang tersimpan dalam
“rangkiang”.
Merantau
bagi perempuan suku Minang mengandung berbagai risiko dalam budaya masyarakat
tersebut. Kebiasaan merantau dilakukan laki-laki karena adanya tekanan
ekonomi dan budaya. Sedangkan bagi perempuan, harta warisan yang dikuasainya
menjadikannya lebih terjamin dari segi ekonomi ketika harus berpisah atau
bercerai dari suaminya. Kondisi ini merupakan idealisme budaya yang dapat
menjadi jaminan sosial bagi perempuan. Berbagai perubahan sosial, budaya dan
ekonomi yang terjadi di masyarakat minang menyebabkan wanita tidak lagi dapat
mengandalkan jaminan sosial dari harta pusaka tingginya (harta warisan).
Walaupun
secara kultural perempuan suku Minang memiliki posisi cukup dominan dalam pembagian
harta pusaka yang berarti memiliki keuntungan secara ekonomis, namun tidak
serta merta perempuan kepala keluarga suku Minang mampu menciptakan dan menjaga
kestabilan rumah tangganya, apalagi jika keluarga yang diasuhnya bukan hanya
keluarga inti saja.
Pandangan
masyarakat terhadap perempuan yang merantau berbeda di antar tokoh masyarakat
Minangkabau laki-laki dan perempuan. Tokoh masyarakat perempuan lebih moderat
dan memandang positif terhadap perempuan yang merantau. Sementara tokoh
masyarakat dan alim ulama laki-laku terpecah dalam memandang perempuan merantau
antara pandangan yang konservatif dan moderat.
Perempuan
merupakan pemegang harta warisan bagi masyarakat Minang. Pada mulanya hal
tersebut bertujuan untuk menjamin kehidupan sosial ekonomi bagi pihak perempuan
apabila bercerai atau berpisah dari suaminya. Namun, adanya perubahan sosial,
budaya dan ekonomi turut mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat Minang.
Merantaunya perempuan suku Minang didorong oleh kondisi ekonomi keluarga,
wanita harus ikut bekerja baik ketika suaminya masih ada atau ketika sudah
bercerai atau berpisah dengan suaminya. Hal ini lebih banyak terjadi pada
keluarga yang secara ekonomi lemah.
Dari
sudut edafik Minangkabau adalah tanah yang subur, sangat sesuai untuk tanaman
padi dan kegiatan pertanian lainnya. Akan tetapi karena tingkat pengembangan
pertanian dalam artian tradisional secara optimal telah tercapai, yakni karena
semua tanah yang ada telah dimanfaatkan untuk pertanian, maka situasi ekologi
sekarang menjadi faktor pembatas untuk perkembangan selanjutnya. Oleh sebab
itu, dalam hal yang demikian merantau secara sukarela menjadi salah satu jalan
keluarnya (Naim, 1984: 232).
Minangkabau adalah daerah yang terpencil di luar pusat
perdagangan dan politik sehingga orang luar tidak mungkin mendatangi
Minangkabau. Sebagai akibatnya, suku bangsa Minangkabau lah yang harus keluar.
Selain itu, Minangkabau adalah daerah yang subur yang sangat cocok untuk daerah
pertanian, tetapi karena tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, tanah
tersebut tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup penduduknya. Oleh
karena itu, merantau menjadi salah satu jalan keluarnya.
Faktor pendidikan telah terbukti menjadi faktor
pendorong yang mampu mendorong yang lainnya untuk ikut merantau, karena setiap
pelajar yang pergi merantau membukakan jalan bagi pelajar berikutnya untuk
melakukan hal yang sama. Cerita-cerita tentang kemajuan dan keberhasilan yang
terdengar dalam pencapaian pendidikan oleh para pelajar ini di rantau mendorong
yang muda-muda untuk mengikuti jejak langkahnya. Para lulusan yang muda-muda ini
biasanya tidak kembali ke kampung, tetapi sebaliknya menetap di rantau. Bahkan
banyak di antaranya yang kemudian menjadi orang orang-orang penting. Hal ini
sudah cukup untuk membangkitkan keinginan anak-anak muda Minangkabau yang masih
di kampung untuk mengikuti jejak langkahnya.
Berkembanganya
pendidikan di Minangkabau dapat dikatakan sebagai keberuntungan (net gain)
bagi wanita Minangkabau karena pendidikan tersebut memberikan dia kesempatan
untuk berkembang lebih banyak di atas status sosial ekonominya yang sudah
terjamin menurut adat, fungsi wanita Minangkabau tidak hanya sebagai “limpapeh
rumah nan gadang”, tetapi kesempatan yang ada menarik sebagian kaum wanita
untuk terjun ke bidang professional, baik di alam Minangkabau itu sendiri,
maupun di luar Minangkabau.
Arus
modernisasi dari Barat di samping bersifat positif juga membawa dampak negatif.
Banyak ekses-ekses yang ditimbulkan dari pengaruh budaya Barat (globalisasi)
yang merusak tatanan kehidupan terutama wanita Minangkabau. Pergeseran
nilai-nilai yang dianut oleh wanita Minangkabau menyebabkan terjadinya penyakit
masyarakat (pekat), falsafah adat yang selama ini memberikan tuntunan tidak
lagi diindahkan.
Dahulu
wanita Minangkabau dituntut di dalam rumah gadang. Sekarang wanita
Minangkabau tidak lagi hanya di dalam rumah gadang atau berfungsi
sebagai isteri, tetapi jauh di luar rumah gadang. Dunia yang dimasuki
wanita tidak lagi sebatas sebagai isteri (sektor domestik) tetapi juga
dunia bisnis, pendidikan, kesehatan, jurnalistik dan bermacam-macam
kegiatan lainnya (sektor publik). Pekerjaan yang dimasuki wanita tidak lagi
memperhitungkan gender. Hal demikian jika masih dalam nuansa yang bersifat
positif tidak masalah. Malah ada pendidikan yang seharusnya dimasuki
laki-laki juga digandrungi oleh wanita.
Posisi
wanita yang pada akhirnya menjadi lemah. Status kedudukan wanita yang semula
tinggi dan sentral sifatnya makin lama makin berkurang karena sumber ekonomi
tidak lagi semata-mata dari harta pusaka yang diwarisi, namun telah bergantung
pada pendapatan suami (ayah).
Makin
seringnya perkawinan campuran (amalgamation) antara anggota masyarakat
Minangkabau dengan orang-orang di luar daerah ini, yang mungkin dulunya
terbatas pada laki-laki di Minangkabau dengan wanita di daerah lain. Keadaan
yang demikian tentu saja akan membawa pengaruh langsung pada kehidupan wanita Minangkabau
tetapi di sini kita terlalu banyak terinjak pada hipotesa-hipotesa yang
memerlukan perhatian lebih lanjut (Alfian dan Anwar, 1983: 152-153).
Gejala
yang lebih menyedihkan dan memprihatinkan banyaknya wanita Minangkabau masuk
‘dunia hitam’ (prostitusi). Berdasarkan data Depsos Sumatera Barat sejak
tahun 1981-2001 terdapat sebanyak 798 orang WTS yang dibina, 60% di antaranya
adalah wanita Minangkabau. Hal ini sangat memprihatinkan dan memperlihatkan
kemerosotan moral wanita Minangkabau (Gayatri, 2001: 9-10).
Pembinaan
terhadap perilaku wanita demikian telah dilakukan tetapi tetap saja dunia hitam
itu tidak ditinggalkan. Banyak alasan kenapa mereka terjun ke dunia itu di
antaranya desakan ekonomi, kerawanan sosial budaya, bujuk rayu, broken home,
ditinggal suami dan alasan-alasan lain. Apapun persoalan dan penyebab, dunia
yang mereka
masuki semua tidak terlepas dari kemerosotan akhlak dan moral dalam masyarakat
Minangkabau. Wanita menurut falsafat ini hanya beraktifitas dari rumah gadang,
kamar dan dapur (sektor domestik). Hal ini tidak sesuai lagi dengan tuntuntan
zaman dan juga koridor itu pun tidak terlalu mengikat. Akibat luasnya aktivitas
wanita membawa dampak terhadap dekadensi moral dari masyarakat, karena wanita
adalah tiang dari suatu keluarga dan masyarakat.
Budaya
merantau yang dulu biasa dilakukan oleh kaum laki-laki Minang, kalaupun ada
kaum perempuan Minang yang merantau hanya untuk ikut suami dan tidak mencari
nafkah untuk kebutuhan keluarganya di kampung. Saat ini merantau untuk bekerja bagi
perempuan Minang sudah biasa terjadi, walau terdapat perbedaan pandangan dalam
masyarakat Minang.
Pada
dasarnya motivasi perempuan merantau lebih banyak karena dipaksa kondisi
ekonomi keluarga dan keterbatasan lapangan kerja yang ada di daerahnya. Oleh
karena itu apa yang diperoleh di rantau lebih banyak dimanfaatkan untuk
menghidupi keluarga yang memang sangat memerlukan. Kiriman remitan dari para
migran pekerja mempunyai dampak positif bagi rumah tangga perdesaan dan ekonomi
perdesaan (Oberai dan Singh, 1980).
Merantaunya
kaum perempuan Minang menimbulkan berbagai dampak bagi masyarakat Minang maupun
masyarakat asli yang ada di tempat rantau suku Minang tersebut. Kedudukan
perempuan Minang secara adat yang semakin melemah. Namun, adanya tuntutan
ekonomi membuat mereka harus berani menentang adat yang sudah melekat dalam
masyarakat. Selain itu, perempuan Minang yang merantau kemudian tidak kembali
ke kampung halamannya juga akan mempengaruhi ketersediaan sumber daya manusia
yang ada. Hendaknya setelah sukses di rantau, mereka kembali ke kampung halaman
untuk menjadikan tempat asal lebih maju dan menerapkan berbagai pengalaman atau
pendidikan yang telah di dapatkan di rantau untuk kemajuan daerah asal.
Migrasi
merupakan pilihan hidup dengan konsekuensi-konsekuensi yang mesti dihadapi.
Diantara konsekuensi itu adalah terjadinya transformasi nilai-nilai di daerah
asal di penempatan baru. Pada awalnya merantau bagi masyarakat Minang adalah untuk kembali ke kampung. Adanya perkawinan dengan orang
asli di rantau yang terjadi akan mempengaruhi budaya Minangkabau yang ada.
Fenomena menikah lagi di kampung halaman bagi seorang laki-laki Minang yang
pergi merantau berlangsung sampai awal tahun 1970-an.
Bukan hanya laki-laki Minang yang melakukan perkawinan
di rantau, saat ini pun dapat terjadi apabila perempuan Minang yang merantau
juga melakukan perkawinan dengan laki-laki asli di rantau. Hal tersebut akan
menimbulkan tranformasi nilai pada sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau.
Pada tahap ini terjadi akulturasi antara kebudayaan masyarakat asli dengan
masyarakat migran. Akulturasi merupakan suatu proses sosial pada suatu kelompok
masyarakat dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Seperti di Negeri Sembilan yang ditengarai bahwa masyarakat asli telah menganut nilai-nilai budaya pada sistem
kekerabatan matrilineal (Baharon Azhar, 1994:140). Untuk itu, begitu terjadi
perjumpaan nilai budaya, maka nilai budaya tersebut melebur, sehingga pada saat
bertemu dengan nilai yang dibawa oleh migran dari Minangkabau terjadinya suatu
proses sosial. Oleh Abdul Samad Idris (1990: 32) pertemuan dua budaya ini
dinamakan dengan pertembungan dua budaya, yaitu budaya Minangkabau dan penduduk
asli Negeri Sembilan (orang-orang asli atau Proto Melayu) telah melahirkan
budaya (tamadun) yang lebih cenderung menerapkan aturan hidup Minangkabau
sehingga melenyapkan satu sama lain budaya dan sistem sosial penduduk asli.
Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang secara kontinyu
ditaati, dipertahankan dan diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya.
Disadari atau tidak, disengaja atau tidak pada suatu masyarakat akan selalu
terjadi proses mengajarkan kebudayaan dan ini yang dinamakan dengan
transformasi nilai-nilai pada kebudayaan atau pewarisan kebudayaan (Hermayulis,
2012).
Fenomena
merantaunya perempuan suku Minang ini menimbulkan berbagai pandangan yang
berbeda, secara ekonomi memang dapat meningkatkan kondisi ekonomi keluarga, umumnya bagi keluarga ekonomi lemah. Namun, hal
lain yang perlu diperhatikan adalah aturan adat dan budaya Minang mulai memudar
dalam masyarakat saat ini. Terlebih lagi, adanya akulturasi dan amalgamasi
membuat tantangan budaya Minang untuk tetap bertahan semakin sulit. Walaupun,
saat ini kesempatan terbuka lebar bagi perempuan Minang merantau untuk menempuh
pendidikan maupun bekerja baik di dalam negeri maupun di luar negeri, tapi
mereka hendaknya tetap menjadi nilai-nilai falsafat yang melekat pada
masyarakat Minang.
Kesimpulan
Fenomena
perempuan suku Minangkabau merantau disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak
dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Ada pihak yang beranggapan bahwa hal
tersebut memiliki nilai positif, namun ada pula yang beranggapan bahwa
merantaunya kaum perempuan Minang menyalahi aturan adat. Merantaunya kaum
perempuan Minang ini memberikan pengaruh pada kondisi budaya yang ada di masyarakat
Minang sendiri maupun masyarakat asli di rantau. Kedudukan perempuan Minang
dianggap melemah dan nilai-nilai falsafah banyak tidak dianut oleh mereka,
sehingga budaya Minang yang menjunjung tinggi kaum perempuan dapat pudar secara
perlahan.
Daftar Rujukan
Dewi, Inneke Rahma dan Ermansyah. 2007. Badan
Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)(Studi Deskripsi tentang Fungsi Organisasi
Sosial Suku Bangsa Minangkabau di Kota Medan). Jurnal Harmoni Sosial,
Volume I, No. 2, hlm. 96-108.
Ekaputra, Rinaldy dan Dwiyanti Hanandini. 2007. Kajian
Gendet terhadap Kontribusi Perantau Perempuan Suku Minangkabau bagi Keluarga di
Kampung Asal (Studi Kasus Tenaga Kerja Perempuan Kepala Rumah Tangga Asal Sumatera Barat).
Erianjoni. 2014. Pergeseran Citra Wanita
Minangkabau: Dari Konsepsi Idela-Tradisional ke Realitas. Jurnal Ilmiah
Kajian Gender, hlm. 225-234.
Gayatri, Satya. 2010. Perempuan dalam Falsafah Adat
Minangkabau. Padang: Universitas Andalas.
Hermayulis. 2012. Transformasi Nilai-nilai pada Sistem
Kekerabatan Matrilineal Minangkabau dalam Penempatan Masyarakat Minangkabau di
Negeri Sembilan Malaysia. Disampaikan dalam seminar antarbangsa pada Temu
Sastrawan NUMERA dari tanggal 16-18 Maret 2012. Selangor: Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku
Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sasmita, Siska. 2011. Peran Perempuan Suku
Minangkabau yang Menjadi Kepala Keluarga (PEKKA) bagi Penciptaan Ketahanan
Pangan Rumah Tangga di Kecamatan Padang Timur. Humanus Vol. X No.1 :
Universitas Negeri Padang.
Komentar
Posting Komentar